KABA – Gunung atau Bukit? – dan Pengalaman yang Nagih dan Tak Terlupakan === Part 1



Salah Satu dari 3 Kawah di G. Kaba

Saya putuskan trip ke Kaba ini akan menjadi posting-an perdana mengenai jejak langkah yang saya tinggalkan di lokasi yang pernah saya kunjungi baik dalam rangka liburan, dinas kerja, atau sekedar melepas penat di lokasi yang tidak begitu jauh dari tempat tinggal saya.

Dan posting pertama ini merupakan trip pertama saya ke puncak gunung, meski G. Kaba termasuk puncak yang sangat rendah dibanding puncak-puncak lainnya.
=======================================================================

Perjalanan kali ini terbilang sangat mendadak karena benar-benar tidak ada persiapan sama sekali. Tiba-tiba sekitar 3 hari sebelum hari H, travelmate kita yang biasa liburan bareng ngontak, “daki Kaba yok!”

Tanpa ba-bi-bu langsung kujawab “OK”.

Ini bukan pengalaman pertama saya hiking, tapi ini adalah pengalaman pertama saya mendaki dan nge-camp di gunung sekaligus.
1.953 mdpl - Yoyon (Putra Tersayang Bunda)

Gunung Kaba terbilang cukup rendah, hanya memiliki ketinggian 1.938 mdpl (Wikipedia), namun di lokasi kita bisa menemukan beberapa penanda dengan berbagai angka yang berbeda. Mungkin karena kawasan ini memiliki luasan wilayah yang cukup “wah” dengan kedalaman kawah sekitar 200 m dan lebar kawah sekitar 1,2 km (gunungbagging.com) serta memiliki elevasi yang berbeda2 di masing-masing sisinya, sehingga penanda yang dibuat juga berbeda-beda.

Lalu kenapa disebut Bukit Kaba? Kalau menurut pendapat saya pribadi ini hanyalah penyebutan warga sekitar saja yang kemungkinan didasarkan pada ketinggian gunung ini yang tidak seperti gunung-gunung yang dikenal masyarakat lokal. Nyatanya kriteria gunung bukan didasarkan pada ketinggiannya. Gunung Anak Krakatau pun hanya lebih kurang 300an mdpl dan tetap disebut gunung - secara resmi. Dan satu lagi bukti kalau Bukit Kaba ini adalah sebuah gunung yakni dengan adanya kawah yang menandakan bahwa ini adalah sebuah gunung dan telah meletus sehingga meninggalkan sisa tubuh yang tidak tinggi lagi seperti saat ini.

Kebayang kan betapa tingginya gunung ini sebelum terjadi letusan.

Salah Satu dari 3 Kawah di G. Kaba
 Terletak di kota Curup, Kebupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, Gunung Kaba sangat mudah diakses baik dari sisi Bengkulu maupun sisi Sumatera Selatan. Bahkan mendaki pun bukan lagi sesuatu yang jadi momok bagi kaum amatiran seperti kami ini. Karena untuk mencapai puncak gunung terdapat 2 jalur, 1 jalur merupakan kawasan hutan tropis dengan trek di tepi jurang namun sangat indah dan memanjakan mata, dan 1 jalur lagi merupakan lahan landai yang jalurnya telah diperkeras dengan aspal (bahkan motor bisa naik sampai ke camping ground yang hanya 100 meter-an lagi menuju puncak dengan menggunakan tangga batu yang telah disediakan pemerintah setempat). Namun kami si amatir namun sok ini memilih mendaki berjalan kaki melalui jalur hutan dengan trek selama lebih kurang 2-3 jam.

Terlihat bagaikan luka menganga dengan darah biru yang mengerikan

Jumat, 28 Juli 2017

Perjalanan kami dimulai dari stasiun Kertapati, Palembang.
Berbekal tiket kereta Sindang Marga tujuan Kertapati (KPT) - Lubuk Linggau (LLG) kelas bisnis yang murah meriah plus promo traveloka potongan 25rb, kami pun berangkat menuju kota persinggahan yang cantik – Lubuk Linggau – dengan Bukit Sulap dan Kampung Warna/i-nya yang menawan.
Poto
Pukul 20.00 wib kereta berangkat dari stasiun Kertapati, Palembang dengan perkiraan waktu perjalanan selama 7,5 jam. Kami pun saling mengakrabkan diri karena di antara kami ada yang belum saling mengenal satu sama lain, yang dilanjutkan dengan acara bobok bareng.

Suasana Kelas Bisnis

Sabtu, 29 Juli 2017
Kereta tiba si stasiun LLG sekitar pukul 3.30 wib. Dan layaknya model yang sedang berjalan di karpet merah kami pun segera dihampiri para supir travel liar yang ingin minta ditunggangi oleh kami. Ups... Maksudnya dinaiki. Lah koq dinaiki...? Ngomong-ngomong kami total 8 personil dengan komposisi 5 laki-laki manja dan 3 perempuan tangguh. #gubrak

Sambil Nunggu Masjid Dibuka
Si Bapak Sampe Ngikutin ke Masjid
Singkat cerita kita terus dipepet sama si bapak yang nyuruh naik mobil dia untuk menuju ke Curup. Langsung saja kami tolak. Lah emang kita cowok apaan? Eaaaaa

Bagi pembaca, kalau bersedia menghabiskan subuh hari di tepi jalanan kota Lubuklinggau, sebaiknya tidak perlu menggunakan kendaraan travel tak resmi (liar) seperti ini. Perbedaan ongkos yang dibayarkan menjadi alasan utama. Tapi kalau tidak punya cukup waktu atau ingin cepat sampai di lokasi dan tanpa repot cari angkutan umum, mobil seperti ini bisa jadi alternatif.

Sambil menunggu fajar, kami putuskan untuk singgah di salah satu masjid di kota Lubuk Linggau. Jaraknya tidak jauh dari stasiun, dan masjid ini juga cukup besar untuk tempat istirahat sementara sebelum aktifitas menanjak dilakukan.
Masjidnya Besar dan Jarak Dari Stasiun Juga Tidak Jauh
Jangan Lupa Doa Supaya Perjalanan Selalu Dalam Lindungan-Nya
Setelah Ishoma di masjid dan repacking barang-barang serta berbagi beban logistik, sekitar pukul 07.00 wib kami pun lanjut menuju pool tempat angkutan umum biasa mangkal mencari penumpang guna melanjutkan perjalanan ke Curup, kaki Gunung Kaba. Perlu 2X ganti mobil untuk menuju Curup, pertama kita harus naik angkot untuk ke terminal PUT (batas kota Lubuk Linggau), dan melanjutkan perjalanan naik “mobil sayur” – sebutan penduduk lokal untuk mobil pick up yang telah dimodifikasi menjadi angkutan orang di Kabupaten Rejang Lebong – menuju titik awal pendakian.

Si cece Dapet Teman Baru
Sebenarnya “mobil sayur” ini tidak melayani rute langsung ke titik awal pendakian, namun setelah nego harga sama abang supir akhirnya kami pun langsung diantarkan ke titik awal pendakian yang posisinya memang cukup jauh jika harus berjalan kaki dari persimpangan Jl. Sumber Urip (kalau tidak salah) tempat “mobil sayur” seharusnya menurunkan kami, yakni sekitar 8 km.

Mobil Sayur
Pemandangan di perjalanan dari kota Lubuk Linggau menuju Curup sangat memesona. Dari kawasan pemukiman sampai indahnya perbukitan yang menurut saya masih termasuk bagian Bukit Barisan, serta lembah nan hijau dan sesekali melalui gemericik air sungai jadi hiburan tersediri bagi mata dan telinga kami yang terbiasa melihat bilik-bilik kantor dan layar komputer ini. Dan benar saja, seketika salah satu rekan kami langsung histeris dan teriak-teriak melihat pemandangan seindah ini. Sebut saja namanya Noviyanti Wulandari (kelak akan dipanggil cece Picon) si pemilik blog nengnongki.blogspot.com. Yup, beliau ini sangat ekspresif. Bisa tertawa terbahak2 atau marah sambil teriak2. Dan puluhan foto langsung melayang ke dalam memori ponselnya sebagai kenang-kenangan perjalanan indah ini.

Tidak ada yang menyalakan MP3 dari ponsel pribadi yang menandakan bahwa kami benar-benar menikmati perjalanan ini, kecuali satu dari teman kami (yang kelak mendapat julukan putra tersayang bunda) yang tidak bisa menikmati pemandangan seindah ini karena mabuk darat di hampir sepanjang jalan. Harap maklum karena perjalanan ini cukup panjang dan melalui jalur yang berkelok-kelok meski tidak ekstrim layaknya jalur ke kota Pagaralam atau Kerinci.
 
Beberapa Foto Dengan Angle dan Momen yang Kurang Pas
Pemandangan dari persimpangan jalan menuju titik awal pendakian benar-benar drastis berbeda. Kalau semula kita disuguhi kawasan pemukiman dan hutan serta perbukitan di kejauhan di hampir sepanjang jalan, di sini pemandangan sudah berganti menjadi kawasan perkebunan sayur di perbukitan yang tentunya sangat menyegarkan mata. Sangat indah dan menurut saya cukup bisa disandingkan dengan terasering persawahan di kawasan Ubud, namun dengan citarasa dan nilai yang berbeda.

Perkebunan Sayur Warga di Jalan Menuju Pos Pendakian

Tiba di titik awal pendakian sekitar pukul 08.15 wib.

Sambil rehat sejenak dan registrasi peserta di pos pendakian Gn. (Bukit) Kaba kami pun mengecek kembali perlengkapan yang akan dibawa dan merapihkan barang-barang bawakan setelah berdesakan di dalam mobil sayur tadi.

View di Pos Registrasi
 
Narsis Sebelum Mendaki
 Sekitar pukul 8.45 wib pendakian pun dilakukan.

Berawal dari sebuah turunan menuju sebuah sungai kecil menjadi tanjakan yang cukup melelahkan bagi seorang amatiran dan bertubuh tambun seperti saya. Tapi kehadiran rekan-rekan seperjuangan yang senantiasa menghibur dikala kelelahan melanda.

Selalu Awali Dengan Berdoa
Dan mari saya perkenalkan pada salah satu travelmate yang sering nebeng trip bareng kami. Si nona mengesalkan namun sangat kami cintai, sebut saja dia Rizka (IG: rzka_dewi). Monggo dicek kalo tertarik, tapi saya sarankan biarkan diri penasaran daripada dapet zonk. Bakalan sia-sia itu kuota internet Cuma buat liatin foto si tante satu ini.

Tapi berhubung saya baik hati, saya tampilkan foto beliau di sini.

Perkenalkan Saya Rizka, Sampe Sekarang Masih Jomblo
Di tengah jalur pendakian kami melihat sebuah penunjuk arah bertuliskan Air Panas. Wah di tengah kelelahan dan keringat yang membanjiri tubuh ini rasanya seperti sebuah hembusan angin surga buat kami. Tapi akhirnya kami hanya sekedar beristirahat di dekat penanda tersebut dan memutuskan Air Panas akan menjadi kunjungan saat turun gunung nanti.

Rute yang dilalui sebenarnya tidak ekstrim – kalau istilah anak gunung, masih banyak bonus di rute G. Kaba ini – tapi kalau tubuh tidak cukup fit dan terbiasa olahraga akan tetap terasa sangat melelahkan. Buktinya sering terdengar suara “gedebuk” sepanjang perjalanan pendakian ini. Awalnya kami kaget dan takut terjadi apa-apa, ternyata itu hanya si tante R (Rizka) yang menjatuhkan diri beberapa kali karena kelelahan.



Turunan PHP yang Langsung Nanjak

Pendakian ya tetap saja pendakian, untuk jalur ekstrim ataupun yang terbilang cukup landai seperti trek di G. Kaba ini. Yup, tiada PHP yang paling berasa dibanding PHP para pendaki. Kami yang belum pernah mendaki G. Kaba dan tidak mengetahui sejauh apa itu puncak selalu disemangati oleh pendaki lain yang lalu lalang. “Ayo semangat, puncaknya sebentar/sedikit lagi”. Dan ketika dijalani ternyata 1 jam berlalu dan puncak belum juga kelihatan. Hahaha...
Nanjak dan Nanjak Teroossss
Entah pukul berapa tepatnya kami tiba di camping ground bawah, tapi saat itu sebenarnya sudah masuk jam makan siang. Kenapa saya katakan camping ground bawah, karena – sebelumnya kami tidak tahu – ternyata sedikit ke atas lagi ada camping ground dengan pelataran yang lebih luas. Posisinya tepat berada di bawah tangga menuju puncak G. Kaba. Ini akan saya tampilkan pada part 2.

Kami langsung bongkar muatan dan mendirikan tenda ditemani hiburan tawa ngakak si cece Picon bersama 2 anggota perempuan lainnya. Setelah satu tenda kelar kaum ibu langsung masuk ke tenda untuk rehat, sementara kaum bapak berbagi tugas mengambil air dan mendirikan tenda kedua. 

Nah untungnya camping ground bawah ini sangat strategis untuk mencari air. Meski rute tempat ambil airnya cukup ekstrim tapi ada cukup melimpah air yang tersedia baik di sisi kiri maupun sisi kanan perkemahan yang tidak dimiliki camping ground atas. Ngomong-ngomong lokasi kemah ini sebenarnya hanya sebuah tanah datar di antara 2 jurang, dan ambil airnya ya turun ke jurang tersebut. 

Setelah tenda selesai dan air diambil, kaum bapak pun melanjutkan dengan acara masak-memasak. Sementara itu di tenda sebelah kaum ibu ke luar dan langsung ber-selfie ria. Acara dilanjutkan dengan bersih-bersih alat makan oleh kaum bapak (lagi). Ah ini kaum ibunya gak guna banget yak. Untung pinter dokumentasi...


Cece Paling Demen Maen di Bawah Pohon
Setelah salat ashar, kami mulai eksplorasi kawasan sekitar dengan mulai menuruni jurang untuk menuju trek yang kami kira akan menuju ke salah satu kawah di puncak sana. FYI, sebenarnya G. Kaba ini memiliki 3 buah kawah yang disebut kawah Vogelsang, Kawah Besar atau Kawah Lama, dan satu lagi entahlah. Dan saya tidak tahu secara pasti mana dari masing-masing nama tersebut untuk kawahnya. Namun sepertinya puncak tertinggi kawasan ini dimiliki oleh gunung yang ada di sebelahnya. Sebuah puncak purba yang telah ditumbuhi vegetasi atau pepohonan.
Puncak Gajah Sudah Terlihat
 



Perjalanan turun cukup membuat jantung berdebar-debar. Ah..., mungkinkah ini cinta...?
Dan perjalanan naik ke kawah cukup membuat nafas tersengal-sengal. Ah..., butuh latihan kardio intensif ini.

Bersambung dulu...